Minggu, 24 Juni 2012

alasan kenapa nilai pancasila sudah mulai luntur




       Pandangan hidup suatu bangsa adalah suatu kristalisasi dari nilai – nilai yang dimiliki oleh suatu bangsa itu, yang diyakini kebenarannya, dan menimbulkan tekad pada bangsa itu untuk mewujudkannya.
Oleh karena itu nilai – nilai hidup yang terkandung didalamnya harus menjadi satu dengan pribadi sebagai bangsa. Yang dinamakan pandangan hidup adalah suatu keyakinan terhadap nilai – nilai hidup yangdijunjung tinggi oleh suatu bangsa.
Yang dimaksud dengan nilai hidup merupakankualitas suatu objek dalam hubungan dengan obyek lain.
Didalam Laboratorium Pancasila ( 1981: 131 ) menyatakan “ Nilai – nilai hidup itu menunjukkan diri dalamsikap dan tingkah laku kemanusiaan
nilai – nilai itu pula secara budya merefleksikandiri dalam atribut kebanggan bangsa dan merupakan identitas dan ciri kepribadian bangsa.
Nilai – nilai yang ada pada pancasila antara lain adalah nilai ketuhanan,kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan.
   
     Akan tetapi dengan seiring berkembangnya zaman, nilai – nilai yang ada pada pancasila sebagai "smart ideology" kini lama kelamaan mulai luntur didalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Padahal nilai – nilai itu merupakan hasil darikebiasaan bangsa Indonesia sendiri mulai dari nenek moyang kita.
Sebagai contoh dibawah ini merupakan nilai – nilai pancasila yang mulai luntur dikalangan masyarakat Indonesia pada saat ini.


pancasila sebagai alat mempersatu bangsa


Pengertian Pancasila

1.      Pengertian Pancasila secara Etimologis
Pancasila berasal dari bahasa Sansekerta dari India, dalam bahasa Sansekerta kata Pancasila memiliki dua macam arti secara leksikal, yaitu :
Panca artinya lima
Syila artinya batu sendi, alas, dasar
Syiila artinya peraturan tingkah laku yang baik/senonoh
Secara etimologis kata Pancasila berasal dari istilah Pancasyila yang memiliki arti secara harfiah dasar yang memiliki lima unsur.

Minggu, 06 Mei 2012

Tawuran, Sebuah Masalah Sosial di Indonesia


Mendengar kata tawuran, sepertinya masyarakat Indonesia sudah tidak asing lagi mendengarnya. Hampir setiap minggu, media massa menyodorkan kepada kita tentang masalah sosial tersebut. Tawuran sepertinya sudah menjadi bagian dari budaya bangsa Indonesia. Segala sesuatu yang tidak bisa dilakukan dengan cara damai, jawabannya pasti dengan tawuran. Bukan hanya tawuran antar pelajar atau warga saja yang menghiasi kolom-kolom media cetak atau elektronik, tetapi aparat pemerintah pun sepertinya tidak ingin ketinggalan pula. Kasus penggusuran tanah di Sulawesi Selatan beberapa waktu yang lalu, yang menyebabkan tawuran antara Satpol Pamong Praja dengan masyarakat adalah bukti dari kearogansian pemerintah dalam mengatasi masalah-masalah sosial yang terjadi.

Soroti penanganan masalah sosial,kapolri evaluasi jajaran polda


Jakarta Penanganan tindak pidana yang jauh dari rasa keadilan menimbulkan kritikan-kritikan tajam bagi Polri. Guna memperbaiki citra buruk tersebut, Kapolri Jenderal Timur Pradopo mengevaluasi jajaran kepolisian daerah dengan menggelar Rapat Pimpinan (Rapim). Dalam Rapim tersebut, Kapolri menyoroti penanganan kepolisian terkait masalah sosial.

"Saya kira semua rekan-rekan wartawan sudah banyak memberikan masukan, salah satunya bagaimana penanganan-penanganan masalah sosial yang berujung pada hal-hal gangguan keamanan ketertiban masyarakat di mana Polri di dalam menyelesaikan itu banyak menjadi kritikan oleh masyarakat," papar Timur usai memimpin Rapim di gedung PTIK, Jl Tirtayasa, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (19/1/2012).

masalah masalah sosial


Blumer (1971) dan Thompson (1988) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan masalah sosial adalah suatu kondisi yang dirumuskan atau dinyatakan oleh suatu entitas yang berpengaruh yang mengancam nilai-nilai suatu masyarakat sehingga berdampak kepada sebagian besar anggota masyarakat dan kondisi itu diharapkan dapat diatasi melalui kegiatan bersama. Entitas tersebut dapat merupakan pembicaraan umum atau menjadi topik ulasan di media massa, seperti televisi, internet, radio dan surat kabar.
Jadi yang memutuskan bahwa sesuatu itu merupakan masalah sosial atau bukan, adalah masyarakat yang kemudian disosialisasikan melalui suatu entitas. Dan tingkat keparahan masalah sosial yang terjadi dapat diukur dengan membandingkan antara sesuatu yang ideal dengan realitas yang terjadi (Coleman dan Cresey, 1987).

Contohnya adalah masalah kemiskinan yang dapat didefinisikan sebagai suatu standar tingkat hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku di masyarakat yang bersangkutan (Suparlan, 1984)
Dan untuk memudahkan mengamati masalah-masalah sosial, Stark (1975) membagi masalah sosial menjadi 3 macam yaitu :
(1) Konflik dan kesenjangan, seperti : kemiskinan, kesenjangan, konflik antar kelompok, pelecehan seksual dan masalah lingkungan.
(2) Perilaku menyimpang, seperti : kecanduan obat terlarang, gangguan mental, kejahatan, kenakalan remaja dan kekerasan pergaulan.
(3) Perkembangan manusia, seperti : masalah keluarga, usia lanjut, kependudukan (seperti urbanisasi) dan kesehatan seksual.

Salah satu penyebab utama timbulnya masalah sosial adalah pemenuhan akan kebutuhan hidup (Etzioni, 1976). Artinya jika seorang anggota masyarakat gagal memenuhi kebutuhan hidupnya maka ia akan cenderung melakukan tindak kejahatan dan kekerasan. Dan jika hal ini berlangsung lebih masif maka akan menyebabkan dampak yang sangat merusak seperti kerusuhan sosial. Hal ini juga didukung oleh pendapatnya Merton dan Nisbet (1971) bahwa masalah sosial sebagai sesuatu yang bukan kebetulan tetapi berakar pada satu atau lebih kebutuhan masyarakat yang terabaikan.

Dengan menggunakan asumsi yang lebih universal maka “tangga kebutuhan” dari Maslow dapat digunakan yaitu pada dasarnya manusia membutuhkan kebutuhan fisiologis, sosiologis, afeksi serta aktualisasi diri, meskipun Etzioni (1976) menjelaskan bahwa masyarakat berbeda antara satu dengan yang lain terkait dengan cara memenuhi kebutuhan hidupnya. Karena seorang individu pada dasarnya merupakan hasil “bangunan” budaya dimana individu itu tumbuh.

Hadley Cantrill (dalam Etzioni, 1976) melakukan penelitian di 14 negara dengan menanyakan harapan, aspirasi dan pangkal kebahagian kepada masyarakat di 14 negara tersebut diantaranya Brazil, Mesir, India, Amerika Serikat dan Yugoslavia. Hasilnya adalah hampir semua responden menyatakan bahwa faktor ekonomilah yang menempati urutan teratas terkait dengan harapan, aspirasi dan kebahagian bila dibandingkan dengan unsur-unsur lainnya.

Sebab lain adalah karena patologi sosial, yang didefinisikan oleh Blackmar dan Gillin (1923) sebagai kegagalan individu menyesuaikan diri terhadap kehidupan sosial dan ketidakmampuan struktur dan institusi sosial melakukan sesuatu bagi perkembangan kepribadian. Hal ini mencakup : cacat (defect), ketergantungan (dependent) dan kenakalan (delinquent).

Para penganut perspektif patologi sosial pada awalnya juga beranggapan bahwa masalah sosial dapat dilakukan dengan cara penyembuhan secara parsial berdasarkan diagnosis atau masalah yang dirasakan. Tetapi akhirnya disadari bahwa penyembuhan parsial tidak mungkin dilakukan karena masyarakat merupakan satu kesatuan yang saling terkait dan permasalahan bersifat menyeluruh.

Jika ruang lingkup masalah patologi sosial lebih mikro dan individual, maka dari perspektif “disorganisasi sosial” menganggap penyebab masalah sosial terjadi akibat adanya perubahan yang cukup besar di dalam masyarakat seperti migrasi, urbanisasi, industrialisasi dan masalah ekologi
Dengan memperhatikan perbedaan lokasi suatu daerah, Park (1967), menemukan bahwa angka disorganisasi sosial dan timbulnya masalah sosial yang tinggi ada pada wilayah yang dikategorikan kumuh akibat arus migrasi yang tinggi, dan hal ini diperkuat dengan pendapat Faris dan Dunham (1965), bahwa tingkat masalah sosial lebih tinggi di pusat kota secara intensitas dan frekuensi dibandingkan daerah pinggiran.

Disamping itu industrialisasi-pun (selain memberikan dampak yang positif) juga memberikan dampat yang negatif pada suatu masyarakat. Penelitian yang dilakukan oleh Mogey (1956) menjelaskan bahwan pertumbuhan industri kendaraan bermotor di kota Oxford menjadikan biaya hidup di kota tersebut menjadi tinggi yang pada akhirnya akan mendorong buruh menuntut peningkatan upah kerja.
Perlu ditambahkan juga disini, bahwa masalah sosial tidak hanya karena kesalahan struktur yang ada di dalam masyarakat atau kegagalan sistem sosial yang berlaku namun juga dari tindakan sosial yang menyimpang atau yang dikenal sebagai “perilaku menyimpang” yaitu menyimpang dari status sosialnya (Merton & Nisbet, 1961).

Misalkan seseorang yang sudah tua bertingkah laku seperti anak-anak atau orang miskin bertingkah laku seperti orang kaya dan lainnya. Dengan demikian, seseorang itu disebut berperilaku menyimpang karena dia dianggap gagal dalam menjalankan kehidupannya sesuai harapan masyarakat. Namun demikian, Heraud (1970) membedakan lagi jenis perilaku menyimpang ini, apakah secara statistik, yaitu berlainan dengan kebanyakan perilaku masyarakat secara umum ataukah secara medik, yang lebih menekankan kepada faktor “nuture” atau genetis.

Ketidakmampuan seseorang dalam melakukan transmisi budaya juga dapat menyebabkan permasalahan sosial. Cohen dalam bukunya “Delinquent Boys : The Culture of the Gang” (1955) memaparkan hasil penelitiannya. Ia memperlihatkan bahwa anak-anak kelas pekerja mungkin mengalami “anomie” di sekolah lapisan menengah sehingga mereka membentuk budaya yang anti nilai-nilai menengah. Melalui asosiasi diferensial, mereka meneruskan seperangkat norma yang dibutuhkan melawan norma-norma yang sah pada saat mempertahankan status dalam ‘gang’nya.


Pustaka :
(1) Masalah-masalah Sosial. Paulus Tangdilintin. Universitas Terbuka. 2007.
(2) Sosiologi Ekonomi. Manasse Malo. Universitas Terbuka. 2009.
(3) Sosiologi Industri. S.R.Parker. Rineka Cipta. 1990.
Semoga Bermanfaat

Sabtu, 05 Mei 2012

sepuluh nilai budaya transisi negatif



Transisi perekonomian Indonesia dari ekonomi perencanaan (plan economy) ke ekonomi pasar (market economy) telah menimbulkan nilai-nilai budaya negatif. Nilai-nilai ini dapat bersifat sementara, namun tidak tertutup kemungkinan menjadi permanen.

Saya sebut sementara, karena ia muncul sebagai akibat dari lemahnya kepemimpinan nasional dalam jangka waktu sekitar 10 tahun, atau kepemimpinan yang tidak membangun tata nilai. Nilai-nilai ini bisa berubah menjadi permanen kalau dibiarkan terjadi dalam jangka panjang, dan mendapat insentif dari para pemimpin yang memberi teladan negatif, bahkan bertindak populis.

Keseluruhan nilai-nilai itu ada sepuluh, terdiri dari nilai-nilai budaya jalan pintas, budaya konflik, saling curiga, mencela, foto-foto, pengerahan otot (massa), tidak tahu malu, popularisme, prosedur dan menunda. Berikut adalah penjelasan ringkasannya.

optimis bangkit dari krisis berwaris



Krisis yang melanda Indonesia dewasa ini merupakan krisis multi-dimensi dalam seluruh persoalan, baik sosial, politik, maupun ekonomi. Hingga akan sulit rasanya -bahkan bingung- dari mana untuk mulai mengatasinya.
Bayangkan, jika setiap hari kita melihat dengan mata kepala sendiri orang melakukan bunuh diri(harakiri) di muka umum seperti yang terjadi di Probolinggo (8/4). Atau aneka model bunuh diri lainnya yang berlatarbelakang keterjepitan ekonomi, maupun krisis lainnya, dan menjadikan bunuh diri di mal atau pusat-pusat  perbelanjaan sebagai pilihan.

Apalagi pesimisme lain yang memenuhi benak kita jika membayangkan akibat ulah seperti oknum pegawai pajak Gayus Tambunan, oknum jaksa Cirus Sinaga, oknum polisi Harafat yang ingin kaya cepat dengan berkhianat dan korupsi.
Akar krisis multi-dimensi ini sesungguhnya merupakan “warisan” atau “bom waktu” dari pemerintahan sentralistik yang sangat menindas rezim Soeharto yang korup dan mencengkram negeri ini selama 32 tahun. Krisis ekonomi dan kelemahan struktur sosial dan politik pun terjadi.