Sabtu, 05 Mei 2012

kekosongan eksistensi manusia modern


Staf pengajar Ganesha Operation (GO), alumni Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Dosen Universitas Islam As-Syafi’iah (UIA) dan Universitas Indonusa Esa Unggul (UIEU) Jakarta
Derap langkah kemajuan teknologi sebagai perpanjangan potensi manusia, telah semakin menunjukkan taring keberhasilan. Produk potensi manusia itu telah pula, mau tidak mau, mempengaruhi perilaku keseharian kita sebagai makhluk sosio-kultural. Perubahan-perubahan terhadap dimensi sosio-kultural memungkinkan kita untuk segera mengambil sikap tertentu, baik preventif maupun partisipatif.
Sikap preventif yang diambil adalah tanggungjawab yang tidak ringan untuk dilakukan, sementara kita memposisikan diri dalam wilayah konsumen teknologi. Hal ini akan mengakibatkan pengurasan energi fisik maupun psikis yang tidak kecil.

Meski demikian, bila sikap partisipatif yang dipilih -atas dasar keterlibatan yang sukar terelakkan sebab kita berkecimpung secara total dalam pemanfaatan teknologi-, berarti kita siap menerima segala konsekuensi logis yang bakal menyerang kita dari arah yang tidak diduga-duga.



Katakanlah kita mengambil sikap partisipatif secara tidak acuh (without thinking twice), maka kita akan tergusur oleh kebengisan teknologi. Misalnya, semalam suntuk kita browsing internet untuk keperluan kerja atau sekadar iseng, esok hari kita bangun kesiangan, lantas lupa mendirikan shalat Subuh.

Contoh ini menunjukkan diri kita yang tengah mengalami pergeseran kehangatan komitmen beragama (religious commitment). Karena terus menerus berpacu dalam kancah kemajuan teknologi, atas dalih pemanfaatan yang terkesan “mumpung sempat” itulah ibadah ritual dan sosial kita secara gradual tersisihkan.
Betapa tidak, kita sibuk dengan setumpuk pekerjaan di kantor, shooping ke setiap supermarket, atau sibuk mencari uang tanpa berhati-hati dari mana dan akan ke mana uang tersebut dibelanjakan.

Ternyata, kita telah disibukkan oleh sosok makhluk baru, yaitu teknologi atas nama “pola hidup modern” (modern lifestyle). Tentu, kita tidak bisa menutup mata untuk mengungkapkan bahwa teknologi harus disyukuri sebagai buah dari ilmu pengetahuan (science), tapi kita tentu tak lantas pula melupakan kewajiban untuk beribadah kepada Allah SWT.

Saking sibuknya dengan segala pekerjaan, waktu yang tersisa untuk mendirikan shalat tinggal sedikit. Dari waktu yang hanya beberapa menit itu, kita terus didera rasa letih, sehingga shalat tidak kita laksanakan sekali. Bila kita terlalu sibuk mengejar dunia, menurut sementara psikolog, kita akan terjangkit gejala psikosomatis.
Di samping menderita gejala psikosomatis, tanpa filter dan sikap bijaksana dalam mengimbangi kemajuan teknologi yang demikian pesat, lambat laun kita akan menderita kekosongan eksistensial (existential vacuum).

Kekosongan eksistensial adalah gejala psikis orang modern yang mengalami keterasingan diri. Terasing kepada diri sendiri, lingkungan, bahkan Tuhan.
Keterasingan kepada Tuhan inilah yang paling berbahaya. Sebab, manusia modern cenderung akan berbuat bebas tanpa batas, yang justru akan membuat dirinya terpuruk ke dalam lembah kesesatan. Orang-orang “modern” tipe inilah yang lebih rendah daripada binatang ternak sekalipun. Allah berfirman,“Kemudian Kami kembalikan ia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka).”(Qs. at-Tîn [95]: 5)


Tanggungjawab Moral
Kemajuan teknologi seharusnya terikat dengan tanggungjawab moral (moral responsibility), sehingga segala akibat yang terjadi tidak membabi-buta. Siapapun tidak akan menolak kemajuan teknologi, tapi bila ia justru membangun peradaban yang destruktif, sebagai muslim, kita harus berani mengatakan “tidak”.
Pertanyaannya, dari dan untuk siapakah tanggungjawab moral itu Tentu dari dan untuk kita. Yang harus senantiasa kita ingat ialah bahwa setiap amal perbuatan, sekecil apapun, akan diminta pertanggungjawabannya kelak di akhirat. Di sana, kita tak dapat mengelak untuk berbohong di hadapan Allah.

Disebutkan dalam al-Qur`an, “Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan sebesar zarrah, niscaya ia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan sebesar zarrah, niscaya ia akan melihat (balasan)nya.” (Qs. al-Zalzalah [99]: 7-8)
Kemajuan teknologi (fikr), akan bersifat fatalistik sebelum dipadukan dengan zikir (dzikr), kata Muhamad Iqbal, seorang penyair-filosof asal Pakistan. Bila kita hanya bergantung pada fikr, berarti kita telah memutuskan untuk menjadi orang “modern” yang menderita kekosongan eksistensial.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar