Krisis yang melanda Indonesia dewasa ini merupakan krisis multi-dimensi dalam seluruh persoalan, baik sosial, politik, maupun ekonomi. Hingga akan sulit rasanya -bahkan bingung- dari mana untuk mulai mengatasinya.
Bayangkan, jika setiap hari kita melihat dengan mata kepala
sendiri orang melakukan bunuh diri(harakiri) di muka umum seperti
yang terjadi di Probolinggo (8/4). Atau aneka model bunuh diri lainnya yang
berlatarbelakang keterjepitan ekonomi, maupun krisis lainnya, dan menjadikan
bunuh diri di mal atau pusat-pusat perbelanjaan sebagai pilihan.
Apalagi pesimisme lain yang memenuhi benak kita jika
membayangkan akibat ulah seperti oknum pegawai pajak Gayus Tambunan, oknum
jaksa Cirus Sinaga, oknum polisi Harafat yang ingin kaya cepat dengan berkhianat
dan korupsi.
Akar krisis multi-dimensi ini sesungguhnya merupakan
“warisan” atau “bom waktu” dari pemerintahan sentralistik yang sangat menindas
rezim Soeharto yang korup dan mencengkram negeri ini selama 32 tahun. Krisis
ekonomi dan kelemahan struktur sosial dan politik pun
terjadi.
Dulunya, sistem kenegaraan yang terlalu terpusat pada
kekuasaan eksekutif, mementingkan stabilitas sosial- politik dengan cara
represif, meniadakan segala bentuk oposisi dan beda pendapat (dissent) dalam
semua aspek kehidupan bernegara dan bermasyarakat, telah menghasilkan
kestabilan semu dan ”pembodohan” masyarakat.
Stabilitas semu ini sesungguhnya sangat cepat rapuh dan
rontok ketika Indonesia dilanda krisis ekonomi tahun 1997. Dan krisis itu telah
mengungkap lemahnya kelembagaan sosial dan politik Indonesia, sebagaimana
gejolak keuangan (kurs) yang telah mengungkap lemahnya kelembagaan perbankan
dan keuangan Indonesia.
Pada masa ekonomi bagus (tahun 1980-an saat era bonanza minyak),
kelemahan-kelemahan ini meski diketahui oleh kebanyakan orang, tapi begitu
gampang dilupakan.
Lebih Besar Pasak
Banyak pakar menilai bahwa masyarakat Indonesia selama ini
telah menjalani hidup yang ”lebih besar pasak daripada tiang” dengan segala
akibat-akibat negatifnya. Karena itu, agar lahir manusia ”baru” Indonesia
pascakrisis, perlu diupayakan agar sikap seperti ini dihindari.
Sikap ini harus diganti dengan semangat kebanggaan meraih
yang diinginkan dengan jerih payah sendiri, tanpa jalan
pintas atau jalur cepat melalui KKN. Manusia Indonesia ”baru” harus
berani mengganti tribalisme dengan budaya yang lebih manusiawi,
budaya ketertutupan dengan keterbukaan, feodalisme dengan
demokrasi, dan ekslusifisme dengan inklusifisme.
Keresahan para sosiolog dan antropolog karena krisis sosial
yang sangat sistemik ini, sesungguhnya lebih berbahaya daripada krisis ekonomi.
Karena di antara warga bangsa sudah tak ada lagi rasa saling percaya
antarsesama. Yang ada adalah upaya saling menjatuhkan.
Orang lebih banyak mendahulukan kepentingan pribadi
dibanding kepentingan bersama. Atau lebih cenderung mengumpulkan harta untuk
diri sendiri dibandingkan bersedekah. Orang terlalu mudah dihasut oleh isu
kecil atau lebih mudah percaya rumor daripada berita resmi. Warga
masyarakat lebih menjadi pemilih emosional pada setiap Pemilu daripada sebagai
pemilih rasional.
Krisis sosial ini juga diwarnai oleh aneka kekerasan.
Seperti tawuran antardesa, antarkampung, antara polisi dan warga sipil, dan
antarsekolah, bahkan yang lebih bodoh dan sangat memalukan: tawuran
antarmahasiswa.
Camara dalam buku The Spiral of Violence menyatakan,
bahwa spiral kekerasan terdiri dari tiga hal. Pertama, adanya
ketidakadilan sebagai akibat terjadinya egoisme para penguasa dan
kelompok-kelompok tertentu yang rakus. Kedua,perjuangan keadilan
dengan jalan kekerasan (termasuk dengan angkat senjata), karena mereka
merasakan tidak melihat jalan lain untuk memperjuangkannya.Ketiga,
adanya tindakan represi pemerintah untuk menumpas bentuk kekerasan kedua
(perjuangan keadilan) untuk dalih stabilitas, sebagaimana terjadi di masa Orde
Baru.
Analisis Transaksional
Krisis multi-dimensi di Indonesia yang kemungkinan telah
terjadi sejak tahun 1997 hingga kini, dapat pula kita lihat dari perspektif
pengamatan (analisis) transaksional.
Analisis transaksional, sebenarnya harus dipandang sebagai
sesuatu yang positif, karena manusia secara filosofis dapat ditingkatkan,
dikembangkan dan diubah secara langsung melalui proses yang aman, menggairahkan
bahkan menyenangkan.
Secara keseluruhan, dasar filosofis analisis transaksional
bermula dari asumsi bahwa semuanya ”OK”. Artinya, bahwa setiap perilaku
individu mempunyai dasar menyenangkan, dan memiliki potensi serta keinginan
untuk berkembang dan mengaktualisasikan diri. Dan dalam berhubungan dengan
orang lain sangat perhatian, mengayomi lawan bicara, mengundang individu lain
untuk senang, cocok dan saling mengisi. Dalam dasar teori dan praktik, analisis
transaksional disebut ”I’m OK and you’re OK”.
Sebagai makhluk sosial, pada setiap saat manusia akan mampu
mengadakan komunikasi atau kontak dengan lingkungannya, khususnya sesama
manusia. Saat melakukan kontak dengan lingkungannya itu, akan terlihat suatu
perubahan sikap, intonasi suara, gaya bahasa maupun tingkahlaku.
Status ego ini terbentuk melalui pengalaman-pengalaman yang
membekas pada diri individu yang bersangkutan sejak masih kecil. Pengalaman
tersebut dapat berwujud pendapat, pandangan sikap, perilaku yang baik dari
orangtuanya, orang dewasa atau orang-orang lain dan tokoh-tokoh yang dianggap
penting sewaktu masa kecil. Dan pengalaman-pengalaman itu kemudian betul-betul
melekat pada dirinya.
Analisis transaksional yang dikembangkan oleh Eric Berne
pada 1960 ini, lebih menekankan pada aspek kognitif, rasional dan behavioral
tentang kepribadian. Serta berorientasi pada peningkatan kesadaran. Sehingga
orang (klien) akan mampu membuat keputusan-keputusan dan rencana baru bagi
kehidupannya yang optimistik. Sehingga pelan tapi pasti, optimisme selalu
menjadi spirit hidup kita untuk bangkit dari krisis.
Upaya membangkitan bangsa ini dari krisisi dengan penerapan
analisis transaksional yang dasarnya positif dan membawa optimisme, jangan
disalah tafsirkan dengan menerapkan pola hidup transaksional ekonomis yang
serba penuh ”transaksi”. Atau jual beli apa saja yang penting ”OK”. Kebijakan
bisa dibeli, hukum bisa digadang-gadang hanya dengan transaksi yang ”lebih
menguntungkan”.
Analisis transaksional menegaskan, bahwa secara alami,
manusia memiliki kecenderungan untuk dapat maju ke arah yang lebih baik. Namun
sangat bergantung dengan pengalaman-pengalaman empirik yang pernah dirasakannya
selama hayat, khususnya semasa kanak-kanak. Jadi, pengalaman yanng baik dalam
kehidupan apapun dalam sebuah negara, akan mempengaruhi terbentuknya generasi
selanjutnya.
Bukan untuk terus menyalahkan, empirik buruk yang diterima
para pengelola negara dan masyarakat Indonesia selama masa ”pendidikan” mental
bernegara ala Orde Baru dulu, telah menghasilkan generasi yang kacau balau,
hingga KKN kian merajalela hingga kini. Butuh penanganan dan pendekatan
sistematis dan menyeluruh, dengan dasar optimisme bahwa kita pasti bisa maju
dan bangkit dari krisis multi-dimensi ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar