Sabtu, 05 Mei 2012

optimis bangkit dari krisis berwaris



Krisis yang melanda Indonesia dewasa ini merupakan krisis multi-dimensi dalam seluruh persoalan, baik sosial, politik, maupun ekonomi. Hingga akan sulit rasanya -bahkan bingung- dari mana untuk mulai mengatasinya.
Bayangkan, jika setiap hari kita melihat dengan mata kepala sendiri orang melakukan bunuh diri(harakiri) di muka umum seperti yang terjadi di Probolinggo (8/4). Atau aneka model bunuh diri lainnya yang berlatarbelakang keterjepitan ekonomi, maupun krisis lainnya, dan menjadikan bunuh diri di mal atau pusat-pusat  perbelanjaan sebagai pilihan.

Apalagi pesimisme lain yang memenuhi benak kita jika membayangkan akibat ulah seperti oknum pegawai pajak Gayus Tambunan, oknum jaksa Cirus Sinaga, oknum polisi Harafat yang ingin kaya cepat dengan berkhianat dan korupsi.
Akar krisis multi-dimensi ini sesungguhnya merupakan “warisan” atau “bom waktu” dari pemerintahan sentralistik yang sangat menindas rezim Soeharto yang korup dan mencengkram negeri ini selama 32 tahun. Krisis ekonomi dan kelemahan struktur sosial dan politik pun terjadi.


Dulunya, sistem kenegaraan yang terlalu terpusat pada kekuasaan eksekutif, mementingkan stabilitas sosial- politik dengan cara represif, meniadakan segala bentuk oposisi dan beda pendapat (dissent) dalam semua aspek kehidupan bernegara dan bermasyarakat, telah menghasilkan kestabilan semu dan ”pembodohan” masyarakat.
Stabilitas semu ini sesungguhnya sangat cepat rapuh dan rontok ketika Indonesia dilanda krisis ekonomi tahun 1997. Dan krisis itu telah mengungkap lemahnya kelembagaan sosial dan politik Indonesia, sebagaimana gejolak keuangan (kurs) yang telah mengungkap lemahnya kelembagaan perbankan dan keuangan Indonesia.
Pada masa ekonomi bagus (tahun 1980-an saat era bonanza minyak), kelemahan-kelemahan ini meski diketahui oleh kebanyakan orang, tapi begitu gampang dilupakan.


Lebih Besar Pasak
Banyak pakar menilai bahwa masyarakat Indonesia selama ini telah menjalani hidup yang ”lebih besar pasak daripada tiang” dengan segala akibat-akibat negatifnya. Karena itu, agar lahir manusia ”baru” Indonesia pascakrisis, perlu diupayakan agar sikap seperti ini dihindari.
Sikap ini harus diganti dengan semangat kebanggaan meraih yang diinginkan dengan jerih payah sendiri, tanpa jalan pintas atau jalur cepat melalui KKN. Manusia Indonesia ”baru” harus berani mengganti tribalisme dengan budaya yang lebih manusiawi, budaya ketertutupan dengan keterbukaan, feodalisme dengan demokrasi, dan ekslusifisme dengan inklusifisme.
Keresahan para sosiolog dan antropolog karena krisis sosial yang sangat sistemik ini, sesungguhnya lebih berbahaya daripada krisis ekonomi. Karena di antara warga bangsa sudah tak ada lagi rasa saling percaya antarsesama. Yang ada adalah upaya saling menjatuhkan.

Orang lebih banyak mendahulukan kepentingan pribadi dibanding kepentingan bersama. Atau lebih cenderung mengumpulkan harta untuk diri sendiri dibandingkan bersedekah. Orang terlalu mudah dihasut oleh isu kecil atau lebih mudah percaya rumor daripada berita resmi.  Warga masyarakat lebih menjadi pemilih emosional pada setiap Pemilu daripada sebagai pemilih rasional.
Krisis sosial ini juga diwarnai oleh aneka kekerasan. Seperti tawuran antardesa, antarkampung, antara polisi dan warga sipil, dan antarsekolah, bahkan yang lebih bodoh dan sangat memalukan: tawuran antarmahasiswa.

Camara dalam buku The Spiral of Violence menyatakan, bahwa spiral kekerasan terdiri dari tiga hal. Pertama, adanya ketidakadilan sebagai akibat terjadinya egoisme para penguasa dan kelompok-kelompok tertentu yang rakus. Kedua,perjuangan keadilan dengan jalan kekerasan (termasuk dengan angkat senjata), karena mereka merasakan tidak melihat jalan lain untuk memperjuangkannya.Ketiga, adanya tindakan represi pemerintah untuk menumpas bentuk kekerasan kedua (perjuangan keadilan) untuk dalih stabilitas, sebagaimana terjadi di masa Orde Baru.


Analisis Transaksional
Krisis multi-dimensi di Indonesia yang kemungkinan telah terjadi sejak tahun 1997 hingga kini, dapat pula kita lihat dari perspektif pengamatan (analisis) transaksional.
Analisis transaksional, sebenarnya harus dipandang sebagai sesuatu yang positif, karena manusia secara filosofis dapat ditingkatkan, dikembangkan dan diubah secara langsung melalui proses yang aman, menggairahkan bahkan menyenangkan.
Secara keseluruhan, dasar filosofis analisis transaksional bermula dari asumsi bahwa semuanya ”OK”. Artinya, bahwa setiap perilaku individu mempunyai dasar menyenangkan, dan memiliki potensi serta keinginan untuk berkembang dan mengaktualisasikan diri. Dan dalam berhubungan dengan orang lain sangat perhatian, mengayomi lawan bicara, mengundang individu lain untuk senang, cocok dan saling mengisi. Dalam dasar teori dan praktik, analisis transaksional disebut ”I’m OK and you’re OK”.
Sebagai makhluk sosial, pada setiap saat manusia akan mampu mengadakan komunikasi atau kontak dengan lingkungannya, khususnya sesama manusia. Saat melakukan kontak dengan lingkungannya itu, akan terlihat suatu perubahan sikap, intonasi suara, gaya bahasa maupun tingkahlaku.
Status ego ini terbentuk melalui pengalaman-pengalaman yang membekas pada diri individu yang bersangkutan sejak masih kecil. Pengalaman tersebut dapat berwujud pendapat, pandangan sikap, perilaku yang baik dari orangtuanya, orang dewasa atau orang-orang lain dan tokoh-tokoh yang dianggap penting sewaktu masa kecil. Dan pengalaman-pengalaman itu kemudian betul-betul melekat pada dirinya.

Analisis transaksional yang dikembangkan oleh Eric Berne pada 1960 ini, lebih menekankan pada aspek kognitif, rasional dan behavioral tentang kepribadian. Serta berorientasi pada peningkatan kesadaran. Sehingga orang (klien) akan mampu membuat keputusan-keputusan dan rencana baru bagi kehidupannya yang optimistik. Sehingga pelan tapi pasti, optimisme selalu menjadi spirit hidup kita untuk bangkit dari krisis.
Upaya membangkitan bangsa ini dari krisisi dengan penerapan analisis transaksional yang dasarnya positif dan membawa optimisme, jangan disalah tafsirkan dengan menerapkan pola hidup transaksional ekonomis yang serba penuh ”transaksi”. Atau jual beli apa saja yang penting ”OK”. Kebijakan bisa dibeli, hukum bisa digadang-gadang hanya dengan transaksi yang ”lebih menguntungkan”.

Analisis transaksional menegaskan, bahwa secara alami, manusia memiliki kecenderungan untuk dapat maju ke arah yang lebih baik. Namun sangat bergantung dengan pengalaman-pengalaman empirik yang pernah dirasakannya selama hayat, khususnya semasa kanak-kanak. Jadi, pengalaman yanng baik dalam kehidupan apapun dalam sebuah negara, akan mempengaruhi terbentuknya generasi selanjutnya.
Bukan untuk terus menyalahkan, empirik buruk yang diterima para pengelola negara dan masyarakat Indonesia selama masa ”pendidikan” mental bernegara ala Orde Baru dulu, telah menghasilkan generasi yang kacau balau, hingga KKN kian merajalela hingga kini. Butuh penanganan dan pendekatan sistematis dan menyeluruh, dengan dasar optimisme bahwa kita pasti bisa maju dan bangkit dari krisis multi-dimensi ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar