Transisi perekonomian Indonesia dari ekonomi perencanaan
(plan economy) ke ekonomi pasar (market economy) telah menimbulkan nilai-nilai
budaya negatif. Nilai-nilai ini dapat bersifat sementara, namun tidak tertutup
kemungkinan menjadi permanen.
Saya sebut sementara, karena ia muncul sebagai akibat dari
lemahnya kepemimpinan nasional dalam jangka waktu sekitar 10 tahun, atau
kepemimpinan yang tidak membangun tata nilai. Nilai-nilai ini bisa berubah
menjadi permanen kalau dibiarkan terjadi dalam jangka panjang, dan mendapat
insentif dari para pemimpin yang memberi teladan negatif, bahkan bertindak
populis.
Keseluruhan nilai-nilai itu ada sepuluh, terdiri dari
nilai-nilai budaya jalan pintas, budaya konflik, saling curiga, mencela,
foto-foto, pengerahan otot (massa), tidak tahu malu, popularisme, prosedur dan
menunda. Berikut adalah penjelasan ringkasannya.
Nilai-Nilai Budaya Jalan Pintas
Jalan pintas adalah perilaku menghindari persaingan dengan
mengabaikan rambu-rambu yang harus dilewati demi keamanan bersama. Kesaksian
Arifin Panigoro yang diucapkan pada sebuah wawancara televisi bulan November
2008 di Bandung tentang bencana yang terjadi di Sidoarjo (Lumpur Lapindo)
mengisyaratkan telah terjadi kecenderungan budaya jalan pintas dalam mengejar keuntungan.
Inilah zaman serba instan. Orang ingin segera menikmati
hasil tanpa bekerja keras. Prinsipnya adalah bagaimana agar menjadi cepat kaya,
cepat pintar dan cepat terkenal.
Seperti yang sudah saya ulas pada pembahasan tentang
illusionary wealth, seminar-seminar sukses yang banyak diminati sejak tahun
2005 adalah seminar yang menjanjikan “Cara Cepat Menjadi Kaya”. Meski
orang-orang bijak pernah menyatakan, kalau seorang berpengalaman bertemu dengan
orang yang punya uang, maka orang yang berpengalaman akan mendapatkan uang, dan
yang punya uang akan mendapatkan pengalaman.
Jalan pintas juga terlihat pada gairah yang terjadi di pasar
modal, baik di kalangan para investor yang lebih banyak mengambil sikap
spekulatif (short selling), dan juga para emiten yang memanipulasi laporan
keuangan daripada long term investor.
Sama halnya dengan tendensi para Caleg yang menggunakan
ijazah sarjana palsu, para pelaku usaha yang terlibat dalam bisnis “money
game”, dan pelaku-pelaku kriminal yang menginginkan harta majikan, sanak dan
keluarga dengan membunuh dan memutilasi korbannya.
Budaya jalan pintas berbeda dengan budaya terobosan. Budaya
terobosan dibutuhkan untuk memperbaiki kinerja dari kondisi yang kompleks dan
membelenggu dengan membentuk cara-cara baru. Terobosan dilakukan dengan tujuan
kepentingan institusi, bukan kepentingan pribadi dengan cara menciptakan jalan
baru yang lebih efisien.
Nilai-Nilai Budaya Konflik
Persaingan artinya ada beberapa pihak yang bertarung,
berlomba, dan bersaing dengan sehat. Orang yang bersaing tidak berkolusi
mengatur pasar. Kita tidak berdialog untuk menciptakan distorsi (kolusi),
tetapi kita bisa saling berbicara untuk aspek-aspek lainnya.
Seperti dikatakan Grondona (2000), ketika kompetisi diterima
sebagai agresi dalam masyarakat yang menghambat kemajuan, maka drama konflik
pun tercium. Misalnya, saat banyak perusahaan merubah cara memberi penghasilan
dari sama rata menjadi “berbasiskan pada kinerja” tidak jarang menimbulkan
ketegangan-ketegangan dan konflik.
Orang-orang yang berprestasi seharusnya menjadi lebih
dihargai, sedangkan mereka yang kurang (the loosers) akan didudukkan di bangku
penonton, namun penonton yang jumlahnya besar bersatu, membentuk solidaritas
dan mencari kekuatan.
Konflik akan berkepanjangan kala kepemimpinan dikuasai
orang-orang yang populis yang menginginkan “suara terbanyak”, yang takut
menghadapi tekanan massa, dan melemahkan pengambilan keputusan yang objektif.
Di lain pihak, ekonomi pasar tidak melulu terdiri dari
kompetisi. Brandenburger dan Nalebuff (1996) menyebutkan, ekonomi pasar
merupakan racikan dari coopetition, yaitu gabungan dari
cooperation—dan—competition.
Jadi kita juga memerlukan kolaborasi. Kita berkolaborasi
kala kue yang kita perebutkan masih sangat kecil. Namun bila sudah besar,
bolehlah kita memperebutkannya. Kondisi yang kita alami justru sebaliknya:
Kuenya masih kecil, tetapi yang memperebutkan sangat banyak, menjadikan kue
sebagai remah-remah yang berceceran yang tidak dapat dinikmati.
Proses transisi yang positif, seharusnya memberi ruang bagi
semua pelaku (aktor) untuk memainkan kedua peran itu. Kolaborasi dan kompetisi
yang sehat harus bergerak berirama, dan kalau salah satu terlalu dominan maka
keseluruhan sistem akan lumpuh.
Kita saksikan hubungan antara buruh-majikan,
pemerintah-perlemen, antara partai-partai politik peserta Pemilu, pengikut dari
pemimpin X dengan pengikut dari pemimpin Y, antara pengelola media dan pemilik
brand, bupati-gubernur, KPK-Polisi-Kejaksaan, murid-guru, dan sebagainya, lebih
banyak menyiratkan sebagai hubungan yang konflik daripada hubungan yang
kolaboratif dan saling menghormati.
Sikap yang lebih mengedepankan konflik daripada kolaborasi
diperparah oleh nilai-nilai berikutnya: Saling curiga.
Nilai-Nilai Budaya Saling Curiga
Perekonomian akan berjalan dengan baik kalau masyarakat
dalam perekonomian itu memiliki sikap saling percaya. Tak perlu selalu percaya,
atau semuanya harus bisa dipercaya, melainkan harus ada sistem dan kekuatan
untuk memenangkan kepercayaan.
Kondisi transisi Indonesia saat ini, dari segi nilai-nilai
sungguh sangat mengkhawatirkan. Perusahaan-perusahaan, lembaga-lembaga publik
dan partai politik kesulitan mencari orang yang benar-benar dapat dipercaya.
Bahkan untuk mencari seorang sopir, baby sitter dan pembantu
rumah tangga saja sangat sulit. Bukan karena mereka tidak memiliki kapasitas
dalam bekerja, melainkan apakah mereka dapat dipercaya.
Di dalam masyarakat transisi ini, kita semua kesulitan
membaca mana manusia yang benar-benar dapat dipercaya dan mana yang tidak. Ada
tiga penyebab semua ini. Pertama, lembaga-lembaga penegak keadilan, khususnya
polisi, kejaksaan dan kehakiman masih belum dapat memberi rasa keadilan sejati.
Kedua, banyak pemimpin yang semula sangat dipercaya
tiba-tiba beralih profesi menjadi politisi. Dan dalam bingkai politik, politisi
cenderung berbicara negatif, dan banyak terlibat dalam praktek-praktek korupsi.
Ketiga, orang-orang yang terbiasa hidup tenang tanpa
persaingan kini terusik dengan persaingan. Kalau dulu kerja–tak kerja, aman;
sekarang hanya yang bekerja keras yang memperoleh tempat.
Rasa khawatir terhadap hilangnya kepercayaan, jabatan atau
pekerjaan, membuat cara berpikir masyarakat dipenuhi rasa curiga yang
berlebihan. Kecurigaan tidak hanya ditujukan pada mereka yang benar-benar layak
dicurigai, melainkan juga pada orang-orang baik yang tulus melakukan perubahan,
bahkan pada pemimpin atau rakyat biasa yang jujur sekalipun.
Kecurigaan menjadi dasar dalam penuntutan, penulisan di berbagai
media massa, investigasi, pesan-pesan singkat melalui telepon seluler (SMS) dan
internet, bahkan dalam berbagai urusan yang diselesaikan melalui tatap muka.
Nilai-Nilai Budaya Mencela
Transisi ini juga kaya dengan budaya mencela. Di berbagai
komunitas mudah ditemui obrolan yang mencela pemimpin masing-masing.
Orang-orang yang berkarya bukan dilihat prestasinya, melainkan titik-titik
lemahnya.
Kalau tidak ditemui sifat-sifat yang kurang terpuji, dicari
kejadian-kejadian yang memalukan. Kalau tak ada juga, maka dikaranglah
cerita-cerita negatif yang dapat dijadikan cemoohan.
Demikianlah masing-masing presiden di era transisi ini,
mulai dari mantan Presiden Habibie sampai dengan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, masing-masing mempunyai julukan celaan yang menjadi bahan entertain
sehari-hari.
Celaan yang demikian ternyata tidak hanya berlaku bagi para
pemimpin, melainkan juga pada pekerja berprestasi atau yang menduduki
posisi-posisi tertentu. Celaan yang hidup mencerminkan kerja yang kurang
produktif, menghabiskan waktu untuk membicarakan hal-hal yang tidak perlu.
Struktur organisasi dalam berbagai lembaga yang
berlapislapis, membuat banyak orang bisa bersembunyi dari kerja yang produktif.
Spirit kompetisi membuat mereka sangat terusik. Padahal era pasar memberi
peluang pada semua orang untuk berkarya dan berprestasi melalui persaingan
sehat.
Selain karena kurang kerja, celaan juga banyak dilakukan
oleh para elit dan eksekutif yang gagal. Selain karena tidak kompetitif, mereka
memiliki ekspektasi yang lebih tinggi dari yang bisa mereka dapatkan. Rasa
tidak puas terhadap kinerja, posisi yang didapat, atau pengakuan yang lebih
rendah membuat self esteem terganggu.
Orang-orang yang demikian bertindak defensif untuk mengkover
kegagalannya dengan menyerang melalui celaan-celaan yang dikesankan sebagai
kritik yang wajar.
Celaan-celaan ini sebenarnya mudah untuk dipadamkan dengan
memperbaiki produktivitas, namun akan terus hidup bila ia dibiarkan terus
terjadi dan menjadi racikan penting dalam pemberitaan media yang mengedepankan
drama dan entertainment.
Budaya Foto-Foto
Salah satu kegemaran orang Indonesia dalam sepuluh tahun
terakhir ini adalah berfoto-foto. Sejak teknologi kamera digital berkembang,
praktis sebagian besar manusia Indonesia memiliki kamera.
Bahkan telepon seluler yang paling banyak diminati adalah
yang memiliki kamera. Di berbagai kesempatan orang berebut berfoto bersama dan
menitipkan kamera mereka pada orang yang memotret.
Siapakah yang pertama kali Anda lihat wajahnya manakala
sebuah foto digital selesai diabadikan Benar! Semua orang pertama-tama akan
melihat muka dirinya lebih dulu, baru kemudian melihat gambar secara
menyeluruh.
Demikian pulalah dengan setiap perubahan, orang pertama-tama
akan melihat dirinya lebih dulu untuk menilai seberapa baik—seberapa jelek
perubahan itu. Kalau wajah atau penampilan pribadinya menjadi lebih baik, ia
akan mengatakan perubahan itu baik. Demikian pula sebaliknya.
Prinsip teknologi fotografi tentu saja bukanlah “lebih indah
dari aslinya”, melainkan, “seindah warna aslinya”. Demikianlah seharusnya
prinsip orang berfoto, bersenang-senang merayakan perubahan atau pembaharuan,
dan menerima keadaan dirinya yang sebenarnya.
Sebab, tak secara otomatis semua orang bisa menjadi lebih
baik dalam proses transisi. Kita bisa menjadi kurang baik, kurang enak atau
kurang nyaman pada suatu saat tertentu. Semua itu bersifat sementara, sampai
kita bisa beradaptasi dan menemukan cara untuk menjadi lebih baik.
Perubahan menuntut semua orang beradaptasi, bukan
menghindari, mencela, menuntut dibubarkan atau dikembalikan seperti keadaan
semula, menyangkal, curiga atau mengerahkan kekuatan untuk melawannya.
Budaya Pengerahan Otot (Massa)
Prinsip ekonomi pasar bukanlah prinsip otot yang
mengandalkan kekuatan massa. Yang besar bukan menindas yang kecil, melainkan
semua hidup saling melengkapi. Ekonomi pasar tidak hanya mengenal kata
substitusi (mencari pengganti), melainkan juga komplementasi (mencari
pelengkap). Kompetisi tidak akan pernah bisa dilakukan kalau sebuah team yang
bekerja tidak bisa saling melengkapi.
Transisi perekonomian Indonesia sebenarnya tidak ditandai
dengan adanya konflik vertikal, yaitu antara buruh-majikan, atasan-bawahan,
atau pemerintah-rakyat. Melainkan lebih ditandai adanya konflik horizontal
(antara elit satu dengan elit lainnya, eksekutif A dengan eksekutif B, antara
pemegang merek A dengan pesaing-pesaingnya).
Orang-orang yang terlibat konflik ini mempunyai kecenderungan
melibatkan massa yang besar dalam bentuk unjuk rasa bayaran yang seakan-akan
didukung oleh “akar rumput” dan mencerminkan konflik vertikal.
Banyak kita saksikan pengerahan massa (otot) yang tidak
dapat diselesaikan melalui dialog, karena massa itu tidak mewakili diri mereka
sendiri, melainkan kepentingan para elit yang bertikai. Konflik antara calon
gubernur (bupati) yang terpilih dan yang tidak, antara para calon presiden,
bahkan antara buruh dengan majikan dan konflik antara LSM dengan pengusaha.
Yang sebenarnya terjadi sesungguhnya adalah kompetisi yang
melibatkan para kompetitor yang menggerakkan massa internal untuk menimbulkan
kesan seakan-akan “tidak dikehendaki” oleh bawahan, rakyat, penduduk sekitar
dan seterusnya.
Dalam sistem ekonomi pasar, persaingan diperlukan untuk
menciptakan value, inovation dan kinerja. Namun efek sampingnya, terjadi
konflik, permusuhan, dan pengerahan massa. Namun perlu diingatkan, pengerahan
otot bukanlah jalan keluar untuk mendapatkan kemenangan. Ada masanya manusia
berlomba, ada masanya menerima kemenangan, namun ada juga masanya untuk saling
berdialog dan menerima.
Masih dalam ingatan kita betapa sengitnya pertarungan antara
dua calon presiden Amerika Serikat, antara Barack Obama dengan John McCain.
Mereka saling menguliti strategi dan kelemahan masing-masing. Namun begitu
salah satu diumumkan menjadi pemenang, yang lain menyampaikan dukungannya dan
membuka dialog.
Tradisi memberi pengakuan dibangun dari atas, dari pemimpin,
baik yang menang maupun yang kalah. Dalam pidatonya, saat menyampaikan ucapan
selamat pada lawannya yang terpilih sebagai pemenang, Senator McCain
mengatakan: “A while ago, you are my opponent, but now you’re my president.”
Budaya Tidak Tahu Malu
Bila di Barat dikenal budaya salah, maka di Timur dikenal
budaya malu. Di barat seseorang dapat dicopot dari jabatannya kalau ia tidak
berkinerja, sedangkan di Indonesia, bila seseorang dicopot dari jabatannya maka
itu berarti mempermalukan diri orang tersebut beserta keluarga besarnya.
Orang yang merasa dipermalukan akan sangat sangat kehilangan
muka. Maka penting sekali seorang menjaga muka atasan, teman, kolega, atau
pemimpinnya. Dialog-dialog yang dilakukan tidak efektif bila tidak
memperhatikan kebiasaan menjaga muka.
Menunjukkan kesalahan seseorang dapat dipandang sebagai
upaya menghilangkan “muka” (harga diri) seseorang. Kalau seorang pemimpin,
manajer, atau pelayan masyarakat telah melakukan kesalahan yang ditunjukkan
oleh orang lain (“dikoreksi” orang lain), maka hal ini dapat berakibat orang
tersebut kehilangan muka.
Prinsip Transparansi yang diperkenalkan perekonomian pasar
mengakibatkan para abdi masyarakat tidak bisa lagi menyembunyikan
kesalahan-kesalahannya. Hal ini dapat berakibat negatif, yaitu orang yang
bersalah cenderung mencari kesalahan-kesalahan yang lain untuk menutupi
kesalahan dirinya (“kehilangan“ mukanya).
Budaya negatif ini dalam bahasa Jawa dikenal dengan istilah
budaya rai-gedhek (muka gedhek, atau muka tembok) yang artinya tidak tahu malu.
Tidak dapat disangkal bahwa masyarakat kita masih memerlukan
jembatan untuk menerima keterbukaan. Namun masalahnya adalah bagaimana membuka
diri, memperbaiki kekurangan, melakukan koreksi tanpa mengakibatkan seseorang
kehilangan muka.
Peran media massa yang mengkoreksi kesalahan para pejabat
publik secara terbuka perlu disambut sebagai jembatan menuju pembaharuan. Namun
tanpa membersihkan nilai-nilai negatif yang disebutkan di atas (seperti
nilai-nilai saling curiga, konflik, saling mencela), maka pembaharuan akan
menjadi sangat problematik.
Alih-alih tumbuh budaya salah, yang tumbuh adalah budaya
membohongi diri, menutupi kesalahan dengan kesalahan-kesalahan baru dan menjadi
budaya rai-gedhek.
Budaya Popularisme
Prinsip persaingan pasar menekankan pentingnya penerimaan
pasar. Pasar yang terdiri dari kumpulan manusia (konsumen), memiliki perilaku
atau cara berpikir yang unik. Dalam kondisi pasar yang bersaing, konsumen hanya
akan memilih atau membeli sesuatu yang memberi manfaat, mudah diingat, menonjol,
memberikan kesan positif, pengalaman yang mengesankan.
Dalam era digital dewasa ini, semua orang dapat dengan mudah
menjadi terkenal, masuk dalam siaran televisi, menceritakan kehebatan-kehebatan
atau kekurangan-kekurangan dan aib miliknya atau keluarganya.
Orang juga dengan mudah menaruh cerita tentang dirinya pada
blog, web site, atau facebook. Dan kalau cerita atau kejadian tentang diri
mereka cukup menarik, maka efek berantai akan berubah menjadi melodrama
(Kompas, 7/6-2009).
Di Era ini pula, orang-orang yang tidak bisa menyanyi, bisa
tampil dalam kontes menyanyi, asal mereka bersedia dipermalukan di depan kamera
televisi. Sementara itu, orang-orang yang berprestasi bisa mengulang
pemberitaan tentang dirinya asalkan mampu menciptakan cerita-cerita baru. Dream
Society yang diulas oleh Rolf Jensen (2001) mulai menjadi kenyataan yang
penting di Indonesia di abad ke-21.
Dalam dunia bisnis dan politik, popularisme menjadi sangat
menggejala karena menyangkut akses. Akses terbuka sejalan dengan meningkatnya
popularitas seseorang. Personal branding menjadi sangat penting karena akan
membentuk kekuatan pasar. Demikian pula prinsip-prinsip yang dipakai dalam pop
culture (Heryanto, 2008).
Di lain pihak, pasar juga menghendaki kinerja, sementara
kinerja tidak bisa diperoleh begitu saja. Masyarakat yang kritis akan sangat
berhati-hati menerima sesuatu yang populer karena mereka akan menuntut kinerja.
Pasar hanya akan menerima figur yang populer dan berkinerja.
Budaya popularisme bisa menjadi budaya transisi negatif,
karena masyarakatnya menyimpulkan salah satu dari dua hal ini: Pertama, segala
sesuatu yang populer pasti bagus, lebih baik pilih dan menjadi yang populer
daipada bekerja keras mengejar prestasi; Atau sebaliknya (kedua), segala
sesuatu atau siapa saja yang populer pasti tidak bagus, tidak berkinerja,
bahkan manipulatif.
Transisi yang terjadi di dunia politik belakangan ini
menunjukkan bahwa masyarakat mulai menjadi lebih kritis, khususnya dalam
menilai figur-figur populer yang belum memiliki rekam jejak yang mumpuni.
Budaya Prosedur
Salah satu ucapan yang sangat menonjol yang muncul di masa
transisi adalah “melanggar prosedur”. Banyak orang ditangkap, dihukum,
dimutasikan karena melanggar prosedur.
Sementara itu tetap banyak orang yang tidak bisa merespons
pasar dengan dalih “tak mau melanggar” prosedur. Dalam masa transisi ini
prosedur telah dijadikan kambing hitam untuk menyembunyikan sesuatu, dan sering
dipakai untuk menghadang perubahan.
Orang-orang yang berkinerja umumnya mengeluh, kalau mau
berhasil banyak prosedur yang sudah tidak pada tempatnya harus dilanggar.
Prosedur yang berbelit-belit menyulitkan pengambilan keputusan, berpotensi
menimbulkan konflik, menghalangi perubahan, mendorong resistensi.
Sementara itu perilaku yang penuh kecurigaan mengatakan,
kalau seseorang melanggar prosedur, pasti ia berpotensi melakukan kecurangan.
Kedua cara berpikir ini saling bertentangan dan menimbulkan keragu-raguan.
Kalau masyarakat terlalu mengedepankan prosedur, maka hanya akan mendapatkan
pemimpin-pemimpin yang play safe (cari aman), bukan change maker yang berani
mengambil resiko.
Prinsip ekonomi pasar menandaskan perlunya Indonesia beralih
dari ekonomi berbasis prosedur ke ekonomi berbasiskan hasil. Ini bukan berarti
prosedur tidak penting, melainkan carilah, bentuklah dan kembangkanlah prosedur
yang memungkinkan para pemimpin dan pelaku-pelaku usaha memperoleh hasil yang
maksimal.
Budaya Menunda
Ditekan kanan-kiri oleh massa dan “telanjang” (transparan)
di hadapan media massa, saat seorang pemimpin mencari kebenaran, ia pun harus
berhadapan dengan konflik, dan rasa tidak nyaman kehilangan muka. Keadaan ini
menimbulkan kebiasaan baru bagi para pemimpin, yaitu menunda pengambilan
keputusan sampai batas waktu yang tidak ditentukan.
Kebiasaan seperti ini terjadi di hampir semua institusi
publik dan mulai merembes ke sektor swasta. Perilaku menunda-nunda juga tampak
dalam eksekusi dan transfer, anggaran, tender-tender proyek-proyek pemerintah,
sampai pada pengangkatan atau pemberhentian pejabat dan dalam pengambilan
keputusan untuk merespons pasar. Dalih yang banyak diucapkan adalah “takut
diperiksa KPK atau takut diaudit”.
Semua langkah ini diambil untuk menghindari kesalahan,
karena publik lebih menghormati orang lain yang “bersih” (tak pernah melakukan
kesalahan) daripada sebaliknya, meskipun orang yang tak pernah melakukan
kesalahan itu tidak pernah melakukan perubahan apa-apa.
Kebiasaan menunda di era transisi cenderung dibiarkan,
karena masyarakat pemakai jasa pemerintah belum banyak yang membayar pajak
dengan benar. Sehingga dorongan untuk menuntut pelayanan belum muncul begitu
kuat.
Selain itu ada kebiasaan buruk dalam dunia pendidikan. Di mana
para murid/mahasiswa menunda-nunda membaca sampai menjelang ujian. Ini berbeda
benar dengan kebiasaan mahasiswa di negara-negara maju yang selalu sedia dan
berpartisipasi aktif dalam diskusi kelas karena selalu membaca sebelum
pelajaran diberikan.
Prinsip ekonomi pasar menekankan pentingnya perilaku
responsif yang berarti harus bertindak proaktif (mempersiapkan diri sebelum
segala sesuatu terjadi).
Bangsa yang tidak siap merespons segala kejadian dengan
cepat adalah bangsa yang reaktif, mudah diguncang oleh kepanikan dan selalu
menunggu uluran tangan untuk dibantu daripada menolong dirinya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar