Mendengar kata tawuran, sepertinya masyarakat Indonesia
sudah tidak asing lagi mendengarnya. Hampir setiap minggu, media massa
menyodorkan kepada kita tentang masalah sosial tersebut. Tawuran sepertinya
sudah menjadi bagian dari budaya bangsa Indonesia. Segala sesuatu yang tidak
bisa dilakukan dengan cara damai, jawabannya pasti dengan tawuran. Bukan hanya
tawuran antar pelajar atau warga saja yang menghiasi kolom-kolom media cetak
atau elektronik, tetapi aparat pemerintah pun sepertinya tidak ingin
ketinggalan pula. Kasus penggusuran tanah di Sulawesi Selatan beberapa waktu
yang lalu, yang menyebabkan tawuran antara Satpol Pamong Praja dengan
masyarakat adalah bukti dari kearogansian pemerintah dalam mengatasi masalah-masalah
sosial yang terjadi.
Peristiwa tawuran baru-baru ini terjadi di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Kehangatan setelah melaksanakan hari raya Idul Fitri, seolah hanya dianggap angin lalu. Yang mencengangkan, bahwa sepanjang tahun ini telah terjadi sebelas kali tawuran yang melibatkan masyarakat antar desa yang berbeda di Lombok Tengah (TPI/28 Oktober 2006). Menurut penuturan salah satu tokoh masyarakat yang diwawancarai oleh Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) beberapa waktu setelah kejadian, persoalan tawuran tersebut banyak di picu oleh hal-hal yang sepele, misalnya kalah main kartu, saling menggoda wanita, dll. Perubahan sosial yang diakibatkan karena sering terjadinya tawuran, mengakibatkan norma-norma menjadi terabaikan.
Selain itu, menyebabkan terjadinya perubahan
pada aspek hubungan sosial (social relationship) atau R.M. Maclver dan Charles
H. Page menyebutnya perubahan terhadap keseimbangan (equilibrium) hubungan
sosial (lihat buku : Society, an introductory analysis). Sedangkan Dahrendorf
(1986:197-198) berpendapat bahwa anggapan dasar untuk memahami proses perubahan
sosial lewat pendekatan konflik (conflict approach) adalah :
1. Setiap
masyarakat -dalam setiap hal- tunduk kepada proses perubahan; perubahan sosial
terdapat di mana-mana;
2. Setiap masyarakat -dalam setiap hal– memperlihatkan
pertikaian dan pertentangan; pertentangan sosial terdapat di mana-mana;
3.
Setiap unsur dalam masyarakat memberikan kontribusi terhadap perpecahan dan
perubahannya;
4. Setiap masyarakat didasarkan atas penggunaan kekuasaan oleh
sejumlah anggotanya terhadap anggotanya yang lain.
Dalam bukunya yang berjudul
“Dinamika Masyarakat Indonesia”, Prof. Dr. Awan Mutakin, dkk berpendapat bahwa
sistem sosial yang stabil (equilibrium) dan berkesinambungan (kontinuitas)
senantiasa terpelihara apabila terdapat adanya pengawasan melalui dua macam
mekanisme sosial dalam bentuk sosialisasi dan pengawasan sosial (kontrol
sosial).
1 Sosialisasi maksudnya adalah suatu proses di mana individu mulai
menerima dan menyesuaikan diri kepada adat istiadat (norma) suatu kelompok yang
ada dalam sistem sosial, sehingga lambat laun yang bersangkutan akan merasa
menjadi bagian dari kelompok yang bersangkutan.
2 Pengawasan sosial adalah,
“proses yang direncanakan atau tidak direncanakan yang bertujuan untuk
mengajak, mendidik atau bahkan memaksa warga masyarakat, agar mematuhi norma
dan nilai”. Pengertian tersebut dipertegas menjadi suatu pengendalian atau
pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggotanya. (Soekanto, 1985 : 113).
Sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, bisa berperan dalam usaha
mengendalikan masalah sosial seperti ini. Pengendalian dapat dilakukan dengan
pendekatan sebagai mahasiswa yang berperan sebagai pihak ketiga.
Peran ini
setidaknya bisa diterima secara rasional, karena tidak memihak kepada kedua
pihak yang bertikai. Peran sebagai pihak ketiga atau mediator adalah bentuk
pengendalian secara kultural. Pengendalian ini berusaha untuk mengendalikan
setiap individu atau kelompok untuk “back to habbits”, artinya mengembalikan
kelompok yang bertikai kepada norma-norma yang berlaku di daerahnya. “Back to
habbits” adalah tahap pertama dalam mengupayakan pengendalian masyarakat yang
bertikai. Hal ini penting, karena sebelum kita melangkah ke tahap selanjutnya,
setiap kelompok harus menyadari terlebih dahulu bahwa diantara mereka terjadi
situasi konflik yang melanggar norma-norma yang berlaku. Kemudian, tahap
selanjutnya adalah bagaimana kita bisa melakukan pengarahan, pembinaan, atau
bimbingan terhadap masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar