Minggu, 06 Mei 2012

Tawuran, Sebuah Masalah Sosial di Indonesia


Mendengar kata tawuran, sepertinya masyarakat Indonesia sudah tidak asing lagi mendengarnya. Hampir setiap minggu, media massa menyodorkan kepada kita tentang masalah sosial tersebut. Tawuran sepertinya sudah menjadi bagian dari budaya bangsa Indonesia. Segala sesuatu yang tidak bisa dilakukan dengan cara damai, jawabannya pasti dengan tawuran. Bukan hanya tawuran antar pelajar atau warga saja yang menghiasi kolom-kolom media cetak atau elektronik, tetapi aparat pemerintah pun sepertinya tidak ingin ketinggalan pula. Kasus penggusuran tanah di Sulawesi Selatan beberapa waktu yang lalu, yang menyebabkan tawuran antara Satpol Pamong Praja dengan masyarakat adalah bukti dari kearogansian pemerintah dalam mengatasi masalah-masalah sosial yang terjadi.

Soroti penanganan masalah sosial,kapolri evaluasi jajaran polda


Jakarta Penanganan tindak pidana yang jauh dari rasa keadilan menimbulkan kritikan-kritikan tajam bagi Polri. Guna memperbaiki citra buruk tersebut, Kapolri Jenderal Timur Pradopo mengevaluasi jajaran kepolisian daerah dengan menggelar Rapat Pimpinan (Rapim). Dalam Rapim tersebut, Kapolri menyoroti penanganan kepolisian terkait masalah sosial.

"Saya kira semua rekan-rekan wartawan sudah banyak memberikan masukan, salah satunya bagaimana penanganan-penanganan masalah sosial yang berujung pada hal-hal gangguan keamanan ketertiban masyarakat di mana Polri di dalam menyelesaikan itu banyak menjadi kritikan oleh masyarakat," papar Timur usai memimpin Rapim di gedung PTIK, Jl Tirtayasa, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (19/1/2012).

masalah masalah sosial


Blumer (1971) dan Thompson (1988) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan masalah sosial adalah suatu kondisi yang dirumuskan atau dinyatakan oleh suatu entitas yang berpengaruh yang mengancam nilai-nilai suatu masyarakat sehingga berdampak kepada sebagian besar anggota masyarakat dan kondisi itu diharapkan dapat diatasi melalui kegiatan bersama. Entitas tersebut dapat merupakan pembicaraan umum atau menjadi topik ulasan di media massa, seperti televisi, internet, radio dan surat kabar.
Jadi yang memutuskan bahwa sesuatu itu merupakan masalah sosial atau bukan, adalah masyarakat yang kemudian disosialisasikan melalui suatu entitas. Dan tingkat keparahan masalah sosial yang terjadi dapat diukur dengan membandingkan antara sesuatu yang ideal dengan realitas yang terjadi (Coleman dan Cresey, 1987).

Contohnya adalah masalah kemiskinan yang dapat didefinisikan sebagai suatu standar tingkat hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku di masyarakat yang bersangkutan (Suparlan, 1984)
Dan untuk memudahkan mengamati masalah-masalah sosial, Stark (1975) membagi masalah sosial menjadi 3 macam yaitu :
(1) Konflik dan kesenjangan, seperti : kemiskinan, kesenjangan, konflik antar kelompok, pelecehan seksual dan masalah lingkungan.
(2) Perilaku menyimpang, seperti : kecanduan obat terlarang, gangguan mental, kejahatan, kenakalan remaja dan kekerasan pergaulan.
(3) Perkembangan manusia, seperti : masalah keluarga, usia lanjut, kependudukan (seperti urbanisasi) dan kesehatan seksual.

Salah satu penyebab utama timbulnya masalah sosial adalah pemenuhan akan kebutuhan hidup (Etzioni, 1976). Artinya jika seorang anggota masyarakat gagal memenuhi kebutuhan hidupnya maka ia akan cenderung melakukan tindak kejahatan dan kekerasan. Dan jika hal ini berlangsung lebih masif maka akan menyebabkan dampak yang sangat merusak seperti kerusuhan sosial. Hal ini juga didukung oleh pendapatnya Merton dan Nisbet (1971) bahwa masalah sosial sebagai sesuatu yang bukan kebetulan tetapi berakar pada satu atau lebih kebutuhan masyarakat yang terabaikan.

Dengan menggunakan asumsi yang lebih universal maka “tangga kebutuhan” dari Maslow dapat digunakan yaitu pada dasarnya manusia membutuhkan kebutuhan fisiologis, sosiologis, afeksi serta aktualisasi diri, meskipun Etzioni (1976) menjelaskan bahwa masyarakat berbeda antara satu dengan yang lain terkait dengan cara memenuhi kebutuhan hidupnya. Karena seorang individu pada dasarnya merupakan hasil “bangunan” budaya dimana individu itu tumbuh.

Hadley Cantrill (dalam Etzioni, 1976) melakukan penelitian di 14 negara dengan menanyakan harapan, aspirasi dan pangkal kebahagian kepada masyarakat di 14 negara tersebut diantaranya Brazil, Mesir, India, Amerika Serikat dan Yugoslavia. Hasilnya adalah hampir semua responden menyatakan bahwa faktor ekonomilah yang menempati urutan teratas terkait dengan harapan, aspirasi dan kebahagian bila dibandingkan dengan unsur-unsur lainnya.

Sebab lain adalah karena patologi sosial, yang didefinisikan oleh Blackmar dan Gillin (1923) sebagai kegagalan individu menyesuaikan diri terhadap kehidupan sosial dan ketidakmampuan struktur dan institusi sosial melakukan sesuatu bagi perkembangan kepribadian. Hal ini mencakup : cacat (defect), ketergantungan (dependent) dan kenakalan (delinquent).

Para penganut perspektif patologi sosial pada awalnya juga beranggapan bahwa masalah sosial dapat dilakukan dengan cara penyembuhan secara parsial berdasarkan diagnosis atau masalah yang dirasakan. Tetapi akhirnya disadari bahwa penyembuhan parsial tidak mungkin dilakukan karena masyarakat merupakan satu kesatuan yang saling terkait dan permasalahan bersifat menyeluruh.

Jika ruang lingkup masalah patologi sosial lebih mikro dan individual, maka dari perspektif “disorganisasi sosial” menganggap penyebab masalah sosial terjadi akibat adanya perubahan yang cukup besar di dalam masyarakat seperti migrasi, urbanisasi, industrialisasi dan masalah ekologi
Dengan memperhatikan perbedaan lokasi suatu daerah, Park (1967), menemukan bahwa angka disorganisasi sosial dan timbulnya masalah sosial yang tinggi ada pada wilayah yang dikategorikan kumuh akibat arus migrasi yang tinggi, dan hal ini diperkuat dengan pendapat Faris dan Dunham (1965), bahwa tingkat masalah sosial lebih tinggi di pusat kota secara intensitas dan frekuensi dibandingkan daerah pinggiran.

Disamping itu industrialisasi-pun (selain memberikan dampak yang positif) juga memberikan dampat yang negatif pada suatu masyarakat. Penelitian yang dilakukan oleh Mogey (1956) menjelaskan bahwan pertumbuhan industri kendaraan bermotor di kota Oxford menjadikan biaya hidup di kota tersebut menjadi tinggi yang pada akhirnya akan mendorong buruh menuntut peningkatan upah kerja.
Perlu ditambahkan juga disini, bahwa masalah sosial tidak hanya karena kesalahan struktur yang ada di dalam masyarakat atau kegagalan sistem sosial yang berlaku namun juga dari tindakan sosial yang menyimpang atau yang dikenal sebagai “perilaku menyimpang” yaitu menyimpang dari status sosialnya (Merton & Nisbet, 1961).

Misalkan seseorang yang sudah tua bertingkah laku seperti anak-anak atau orang miskin bertingkah laku seperti orang kaya dan lainnya. Dengan demikian, seseorang itu disebut berperilaku menyimpang karena dia dianggap gagal dalam menjalankan kehidupannya sesuai harapan masyarakat. Namun demikian, Heraud (1970) membedakan lagi jenis perilaku menyimpang ini, apakah secara statistik, yaitu berlainan dengan kebanyakan perilaku masyarakat secara umum ataukah secara medik, yang lebih menekankan kepada faktor “nuture” atau genetis.

Ketidakmampuan seseorang dalam melakukan transmisi budaya juga dapat menyebabkan permasalahan sosial. Cohen dalam bukunya “Delinquent Boys : The Culture of the Gang” (1955) memaparkan hasil penelitiannya. Ia memperlihatkan bahwa anak-anak kelas pekerja mungkin mengalami “anomie” di sekolah lapisan menengah sehingga mereka membentuk budaya yang anti nilai-nilai menengah. Melalui asosiasi diferensial, mereka meneruskan seperangkat norma yang dibutuhkan melawan norma-norma yang sah pada saat mempertahankan status dalam ‘gang’nya.


Pustaka :
(1) Masalah-masalah Sosial. Paulus Tangdilintin. Universitas Terbuka. 2007.
(2) Sosiologi Ekonomi. Manasse Malo. Universitas Terbuka. 2009.
(3) Sosiologi Industri. S.R.Parker. Rineka Cipta. 1990.
Semoga Bermanfaat

Sabtu, 05 Mei 2012

sepuluh nilai budaya transisi negatif



Transisi perekonomian Indonesia dari ekonomi perencanaan (plan economy) ke ekonomi pasar (market economy) telah menimbulkan nilai-nilai budaya negatif. Nilai-nilai ini dapat bersifat sementara, namun tidak tertutup kemungkinan menjadi permanen.

Saya sebut sementara, karena ia muncul sebagai akibat dari lemahnya kepemimpinan nasional dalam jangka waktu sekitar 10 tahun, atau kepemimpinan yang tidak membangun tata nilai. Nilai-nilai ini bisa berubah menjadi permanen kalau dibiarkan terjadi dalam jangka panjang, dan mendapat insentif dari para pemimpin yang memberi teladan negatif, bahkan bertindak populis.

Keseluruhan nilai-nilai itu ada sepuluh, terdiri dari nilai-nilai budaya jalan pintas, budaya konflik, saling curiga, mencela, foto-foto, pengerahan otot (massa), tidak tahu malu, popularisme, prosedur dan menunda. Berikut adalah penjelasan ringkasannya.

optimis bangkit dari krisis berwaris



Krisis yang melanda Indonesia dewasa ini merupakan krisis multi-dimensi dalam seluruh persoalan, baik sosial, politik, maupun ekonomi. Hingga akan sulit rasanya -bahkan bingung- dari mana untuk mulai mengatasinya.
Bayangkan, jika setiap hari kita melihat dengan mata kepala sendiri orang melakukan bunuh diri(harakiri) di muka umum seperti yang terjadi di Probolinggo (8/4). Atau aneka model bunuh diri lainnya yang berlatarbelakang keterjepitan ekonomi, maupun krisis lainnya, dan menjadikan bunuh diri di mal atau pusat-pusat  perbelanjaan sebagai pilihan.

Apalagi pesimisme lain yang memenuhi benak kita jika membayangkan akibat ulah seperti oknum pegawai pajak Gayus Tambunan, oknum jaksa Cirus Sinaga, oknum polisi Harafat yang ingin kaya cepat dengan berkhianat dan korupsi.
Akar krisis multi-dimensi ini sesungguhnya merupakan “warisan” atau “bom waktu” dari pemerintahan sentralistik yang sangat menindas rezim Soeharto yang korup dan mencengkram negeri ini selama 32 tahun. Krisis ekonomi dan kelemahan struktur sosial dan politik pun terjadi.

kekosongan eksistensi manusia modern


Staf pengajar Ganesha Operation (GO), alumni Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Dosen Universitas Islam As-Syafi’iah (UIA) dan Universitas Indonusa Esa Unggul (UIEU) Jakarta
Derap langkah kemajuan teknologi sebagai perpanjangan potensi manusia, telah semakin menunjukkan taring keberhasilan. Produk potensi manusia itu telah pula, mau tidak mau, mempengaruhi perilaku keseharian kita sebagai makhluk sosio-kultural. Perubahan-perubahan terhadap dimensi sosio-kultural memungkinkan kita untuk segera mengambil sikap tertentu, baik preventif maupun partisipatif.
Sikap preventif yang diambil adalah tanggungjawab yang tidak ringan untuk dilakukan, sementara kita memposisikan diri dalam wilayah konsumen teknologi. Hal ini akan mengakibatkan pengurasan energi fisik maupun psikis yang tidak kecil.

Meski demikian, bila sikap partisipatif yang dipilih -atas dasar keterlibatan yang sukar terelakkan sebab kita berkecimpung secara total dalam pemanfaatan teknologi-, berarti kita siap menerima segala konsekuensi logis yang bakal menyerang kita dari arah yang tidak diduga-duga.

Valentine konsumerisme bertopeng kasih sayang



Minggu kedua Februari adalah “Hari Raya” yang selalu dinanti-nanti oleh sebagian remaja. Ya, hari spesial, khususnya bagi anak-anak baru gede (ABG), di kota-kota besar hampir di seluruh dunia. Bagi mereka, hari itu adalah Hari Pink. Serba merah muda.

Mereka “percaya” hari itu adalah hari kasih sayang. Dekor hati yang terbuat dari balon (plastik) warna merah muda dengan seorang bocah kecil bugil membawa busur dan panah, tampak menghiasi etalase-etalase mal dan plaza hotel berbintang.

Semua mal, tempat nongkrong, karaoke, diskotik, stasiun televisi -khususnya dalam program infotainmen-, bahkan lokalisasi pelacuran pun turut memeriahkan produk budaya Barat itu dengan tampilan merah muda. Produk-produk seperti coklat, permen, es krim, t-shirt, bunga dan lain-lain, pun dibuat para pebisnis dengan semuanya serba merah muda.

mengapa kebudayaan daerah bisa menjadi unsur kebudayaan nasional?


Kebudayaan daerah diartikan sebagai kebudayaan yang khas yang terdapat pada wilayah tersebut. Kebudayaan daerah di Indonesia di Indonesia sangatlah beragam. MenurutKoentjaraningrat kebudayaan daerah sama dengan konsep suku bangsa. Suatu kebudayaan tidak terlepas dari pola kegiatan masyarakat. Keragaman budaya daerah bergantung pada faktor geografis. Semakin besar wilayahnya, maka makin komplek perbedaan kebudayaan satu dengan yang lain. Jika kita melihat dari ujung pulau Sumatera sampai ke pulau Irian tercatat sekitar 300 suku bangsa dengan bahasa, adat-istiadat, dan agama yang berbeda.

Konsep Suku Bangsa / Kebudayaan Daerah. Tiap kebudayaan yang hidup dalam suatu masyarakat yang dapat berwujud sebagai komunitas desa, sebagai kota, sebagai kelompok kekerabatan, atau kelompok adat yang lain, bisa menampilkan suatu corak khas yang terutama terlihat orang luar yang bukan warga masyarakat bersangkutan. Sebaliknya, terhadap kebudayaan tetangganya, ia dapat melihat corak khasnya, terutama unsur-unsur yang berbeda menyolok dengan kebudayaannya sendiri. Pola khas tersebut berupa wujud sistem sosial dan sistem kebendaan. Pola khas dari suatu kebudayaan bisa tampil karena kebudayaan itu menghasilkan suatu unsur yang kecil berupa berupa suatu unsur kebudayaan fisik dengan bentuk yang khusus yang tidak terdapat pada kebudayaan lain.

Kebudayaan daerah merupakan sumber kebudayaan nasional


Dalam pemakaian sebagian besar masyarakat sehari-hari arti “kebudayaan” seringkali terbatas pada sesuatu yang indah-indah, seperti misalnya candi, tarian, seni rupa, seni suara, sastra, dan filsafat. Ralph Linton, seorang ahli antropologi dalam bukunya The Cultural Background of Personality, mempunyai definisi yang berbeda antara definisi yang umum tersebut dengan definisi seorang ahli antropologi sebagaimana disajikan pada uraian berikut (Ihromi, 1994; 18):

“Kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat yang manapun dan tidak mengenai sebagian dari cara hidup itu yaitu bagian yang oleh masyarakat dianggap lebih tinggi atau lebih diinginkan. Dalam arti cara hidup itu masyarakat kalau kebudayaan diterapkan pada cara hidup kita sendiri, maka tidak ada sangkut pautnya dengan main piano atau membaca karya sastra terkenal. Untuk seorang ahli ilmu sosial, kegiatan seperti main piano itu, merupakan elemen-elemen belaka dalam keseluruhan kebudayaan kita. Keseluruhan ini mencakup kegiatan-kegiatan duniawi seperti mencuci piring atau menyetir mobil dan untuk tujuan mempelajari kebudayaan, hal ini sama derajatnya dengan “hal-hal yang lebih halusdalam kehidupan”. Karena itu, bagi seorang ahli ilmu sosial tidak ada masyarakat atau perorangan yang tidak berkebudayaan. Tiap masyarakat mempunyai kebudayaan, bagaimanapun sederhananya kebudayaan itu dan setiap manusia adalah makhluk berbudaya, dalam arti mengambil bagian dalam suatu kebudayaan.”

Penjelasan Liton di atas menunjukkan bahwa kebudayaan ternyata memiliki berbagai aspek, yang meliputi cara-cara berlaku, kepercayaan-kepercayaan, sikap-sikap, dan hasil dari kegiatan manusia yang khas untuk suatu masyarakat atau kelompok penduduk tertentu.